Sabtu, 07 April 2012

Hukum Ekonomi Penyimpangan Dalam Pasar Modal

Hukum Ekonomi Penyimpangan Dalam Pasar Modal

Khaerudin dan mohammad baker

Liberalisasi perdagangan semakin mengembangkan globalisasi ekonomi. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum suatu negara tidak bisa dihindarkan. Globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum suatu negara. Negara ,yang terlibat terpaksa harus membuat standardisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Menurut Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara Prof Dr Bismar Nasution SH MH, globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi.

Dalam arti, substansi berbagai undang – undang dan perjanjian menyebar melewati batas negara. Sayangnya, menurut Bismar, Indonesia yang telah menjadi anggota komunitas global ekonomi dunia lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau skala regional yang lebih luas dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), tidak mempunyai produk hukum ekonomi yang minimal sekalipun.
Kamis, 8 Februari 2007 di kantornya, Ketua Program Magister dan Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana USU menjelaskan panjang lebar, betapa Indonesia ketinggalan dalam bidang hukum ekonomi dibandingkan negara Etiopia.

Bagaimana kondisi hukum bidang ekonomi Indonesia?
Pertama, dalam kebijakan yang berkaitan dengan hukum ekonomi atau hukum bisnis, harus ada
kepastian hukum. Selama ini di Indonesia, banyak peraturan perundangan dalam kegiatan
ekonomi atau transaksi bisnis yang banyak celah yang dapat dimanfaatkan orang yang punya itikad kurang baik.

Mengapa bisa terjadi? Karena tidak terlepas dari krisis moneter 1997. Kita dibantu Dana Moneter Internasional (IMF) lewat letter of intent. Di situ ada suasana yang memengaruhi hukum ekonomi kita. Ada resep yang diberikan IMF waktu itu untuk pemulihan ekonomi yang tidak pas.

Salah satu contohnya, kita disuruh melakukan privatisasi, tetapi rule of the game, rambu untuk melakukan privatisasi tidak ada. Kita lupa menyiapkan undang-undangnya. Padahal, Etiopia, contohnya, ketika disuruh IMF atau bank dunia melakukan privatisasi, mereka menyiapkan undang-undangnya mana yang boleh, mana yang tidak boleh diprivatisasi dan kriterianya jelas.

Apa yang terjadi dalam hukum bisnis di Indonesia?
Pro-kontra privatisasi BUMN hanya satu contoh bahwa kita tidak punya peraturan atau hukum ekonomi yang memenuhi tiga unsur, stabilitas, prediksi, dan keadilan. Unsur stabilitas, di mana hukum berfungsi mengakomodasi kepentingan yang sedang bersaing. Unsur predictability berarti
hukum ekonomi berfungsi meramalkan akibat yang diambil. Apakah itu penting untuk rakyat?
Adakah undang-undang atau peraturan di Indonesia ini yang mengatakan pada kita, atau
menyuruh kita meneliti dulu sebelum menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Padahal,
harus diingat, pertama kali terjadi privatisasi, tantangan pertamanya adalah pemutusan
hubungan kerja (PHK).

Di Indonesia tidak ada aturannya. Tidak ada yang spesifik mengatur itu. Sekarang ada Peraturan Pemerintah tentang privatisasi (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005), namun setelah kita baca tidak ada yang spesifik, mana yang boleh diprivatisasi mana yang tidak. Undang-undang di bidang ekonomi tidak ada yang bisa meramalkan, apakah kalau kita menjual BUMN atau mendatangkan investasi asing, bisa menguntungkan buat kita? Masalah kedua, tidak ada aturan yang menyatakan uang hasil privatisasi harus dibawa ke mana. Apakah untuk mengisi defisit anggaran belanja negara atau mengembangkan perusahaan itu. Seperti Indosat setelah dijual, tidak pernah ada transparansi uangnya digunakan ke mana dan untuk apa. Unsur
meramalkan dalam hukum ekonomi juga tidak ada.

Apakah kita benar-benar tidak memiliki undang-undang di bidang ekonomi yang bisa memuat unsur stabilitas, predictability dan fairness?
Baru satu undang-undang di Indonesia ini yang saya lihat bisa memangkas birokrasi, yakni UU No 8/1995 tentang Pasar Modal. Unsur stabilitas dalam UU itu, misalnya, berisi pemangkasan birokrasi. Isinya menentukan jika dalam 45 hari setelah perusahaan mendaftar di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), urusan administrasi selesai atau tidak, dikerjakan atau tidak oleh aparat Bapepam dokumennya, otomatis saham perusahaan itu dapat diperjualbelikan. Adakah perda atau UU yang mengatakan apabila 45 hari setelah investor mengurus investasinya di Indonesia, otomatis dia boleh mengerjakan pabriknya. Ini kan satu UU yang menekankan pemangkasan birokrasi yang di Indonesia sangat berlebihan. Pemangkasan itu pun terjadi baru di investasi portofolio. Di pasar modal. Mengapa UU No 8/1995 itu tidak diterapkan pada undang-undang yang lain.

Kalau seperti ini kondisinya, berarti tidak ada jaminan untuk investor bisa tenang berinvestasi
di Indonesia?
Seperti kasus Perusahaan Gas Negara (PGN), yang mengatakan pipa gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat akan tersambung Desember 2006, ternyata tidak selesai sampai Januari 2007. Anehnya, dengan aturan yang sudah jelas saja, Bapepam hanya mengacu pada peraturan Bapepam tentang keterbukaan informasi. Padahal, bukan itu. Bapepam harus mengacu pada pasal 93 UU No 8/1995. Itu sudah jelas penipuan. Ini yang membuat kita bertanya dalam hati. Orang asing kan melihat, PGN yang menipu informasi, cuma dikasih sanksi administrasi. Padahal, melihat kasusnya, tanpa berpikir panjang saya mengatakan itu, bukan peraturan Bapepam yang dilanggar, tetapi pasal 93 UU No 8/1995 tentang penipuan informasi. Sebab, PGN telah berjanji menyelesaikan pembangunan pipa gas itu lewat prospektus. Kalau janji tidak ditepati, apa namanya itu?

Penyelesaiannya dan dapat disimpulkan dari masalah diatas perlu diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan.
Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali di amandemen;
2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif);
3. Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan ekonomi.

Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan.
Tentu saja sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya. Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para ahli dan pelaku ekonomi
sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan
ekonomi saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar