Selasa, 15 Februari 2011

kondisi perekonomian pada tahap pemerintahan SBY

pemerintahan Yudhoyono sepanjang lima tahun berkuasa adalah kemampuannya membalikkan kondisi dari penurunan apresiasi publik menjadi peningkatan yang terjadi secara drastis hanya satu tahun terakhir masa kekuasaannya.
Popularitas pemerintah sepanjang lima tahun berkuasa sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang mereka hasilkan. Gambaran ini tampak betul jika melihat ekspresi kepuasan publik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan berkala setiap triwulan, apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah tampak terkait erat dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah.
Sepanjang memerintah, fakta menunjukkan bahwa apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial cenderung lebih rendah dibandingkan dengan apresiasi terhadap bidang-bidang lainnya. Relatif lebih rendahnya apresiasi publik ini terjadi pada setiap penetapan kebijakan tidak populer, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebagai gambaran, apresiasi publik pada pemerintah tampak merosot tajam pada periode setahun pertama pemerintahan Yudhoyono. Pasalnya, kebijakan menaikkan harga BBM pada bulan Oktober 2005 disambut publik dengan respons negatif. Jika hasil jajak pendapat sebelum kebijakan kenaikan harga menunjukkan 48,1 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi, tiga bulan berikutnya hanya 32,4 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
Kinerja menurun
Fenomena lain menunjukkan, melorotnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah terus terjadi selama tiga tahun pertama. Di bidang ekonomi, titik terendah penilaian publik terjadi pada bulan ke-42. Pada saat itu, hanya 27,3 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
Bidang perekonomian memang menjadi batu ujian bagi kinerja pemerintahan. Data makro, seperti pertumbuhan ekonomi, apabila di periode tiga bulan terakhir pada tahun 2004 sempat tercatat 6,4 persen, pada bulan-bulan berikutnya melorot ke angka 4,6 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada tahun pertama pemerintahan tercatat 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen, sempat meningkat menjadi 17,8 persen pada tahun 2006.
Demikian pula kebijakan impor beras terjadi di awal tahun 2006, yang membawa persoalan bagi para petani akibat harga gabah anjlok.
Ketika pemerintah masih berkutat pada persoalan melemahnya kondisi ekonomi, krisis ekonomi global terjadi. Segenap aktivitas perekonomian pun dihadapi bayang-bayang kelesuan. Apa daya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2009 hanya mampu mencapai poin 4,2 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (Maret 2009) mencatat, angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9,26 juta jiwa atau 8,14 persen dari total penduduk usia kerja.
Tak pelak, sejumlah target dan janji pemerintahan Yudhoyono, seperti yang ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, pada persoalan perekonomian dan kesejahteraan kurang dapat terpenuhi.
Di sisi lain, kecenderungan melemahnya apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang nonekonomi juga terjadi. Namun, jika penurunan apresiasi publik di bidang ekonomi terjadi semenjak tahun pertama jalannya pemerintahan, di bidang nonekonomi, seperti penegakan hukum, politik, dan keamanan, terjadi setelah dua tahun usia pemerintahan.
Di bidang hukum, penilaian positif publik terhadap pemerintahan SBY secara konsisten disampaikan oleh lebih dari separuh responden selama 18 bulan pertama. Boleh jadi hal demikian dipicu oleh komitmen Yudhoyono di awal pemerintahannya untuk membenahi persoalan hukum di negeri ini.
Pemberantasan korupsi adalah agenda yang mendapat sorotan paling tinggi. Semangat memberantas korupsi di awal pemerintahan langsung diartikulasikan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Disusul kemudian dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono, 2 Mei 2005.
Selama 100 hari pertama pemerintahan, Presiden memberikan izin kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan memeriksa sedikitnya 35 pejabat negara. Selama satu tahun pertama jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani Kejaksaan Agung meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004 menjadi 637 kasus pada tahun 2005.
Sayangnya, memasuki tahun ketiga, apresiasi atas kinerja bidang hukum beralih dan terus melorot. Terungkapnya sejumlah skandal aparat hukum yang terlibat korupsi mencoreng citra pemerintah dan boleh jadi merupakan faktor yang menggiring meningkatnya persepsi negatif publik atas kinerja aparat hukum.
Begitulah, gencarnya pemberitaan media soal aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum, tetapi malah terlibat dalam lingkaran korupsi, meredupkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Menariknya, redupnya kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di bidang persoalan lain, seperti halnya politik dan keamanan. Sekalipun kondisi politik dan keamanan relatif stabil, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ini turut melorot.
Tampaknya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian dan hukum turut memengaruhi kadar kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Titik balik
Bagi pemerintah, tidak selamanya keterpurukan dialami. Setahun menjelang berakhirnya periode lima tahun kepemimpinannya, sekonyong-konyong terjadi peningkatan apresiasi publik yang sangat signifikan terhadap kinerja pemerintah.
Lagi-lagi, kebijakan pemerintah tampak memengaruhi apresiasi publik. Di bidang ekonomi, yang sebelumnya menjadi persoalan yang utama penurunan apresiasi malah justru terdongkrak paling signifikan dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM pada Desember 2008 menjadi titik kunci peningkatan popularitas pemerintahan Yudhoyono. Hasil pengumpulan opini publik pada bulan ke-51 pemerintahan Yudhoyono menunjukkan, hampir 60 persen responden yang menyatakan kepuasan mereka atas kinerja perekonomian. Padahal, dalam survei tiga bulan sebelumnya, kurang dari separuh responden yang menyampaikan apresiasi serupa.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakan bersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah.
Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya. Peningkatan citra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 70 persen.
Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini, menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya.
Kondisi semacam ini pula yang membedakan antara penilaian publik terhadap pemerintah saat ini dan sebelumnya.
Ketika era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung, sebenarnya fenomena penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah juga berlangsung dari tahun ke tahun. Namun, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, penurunan apresiasi publik terus-menerus terjadi hingga masa jabatan kepresidenannya diakhiri tanpa adanya titik balik peningkatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun mengalami nasib sama sekalipun pada bulan-bulan terakhir kepemimpinannya apresiasi publik menunjukkan peningkatan. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.

Apabila kita berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu menciptakan stabilitas ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan tidak disia-siakan oleh pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya, maka pencapaian target pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007 tidak tak mungkin dapat teralisasi.
Gejolak perekonomian global yang dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika Serikat, bergejolaknya harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta krisis finansial global yang sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi pemerintahan sekarang untuk melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali tersebut. Keberlanjutan momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya daya tahan perekonomian yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila kualitas dan daya tahan perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan angka pencapaian pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka kondisi perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas gejolak eksternal yang sedang terjadi.

Pola pertumbuhan sektor yang menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin melebar menimbulkan suatu kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan Sektoral tradable dan non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah melalui tahapan industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam tahap pematangan di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan industrialisasi, peranan sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40 persen dari PDB, akan tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor manufaktur masih dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki kecenderungan stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun penerunannya tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor manufaktur mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami de-industrialisasi dini.

Kondisi kecenderungan makin melebarnya kesenjangan sektor tradable dan non-tradable dan stagnan serta relatif kecenderungan menurunnya sektor manufaktur menandakan kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sangat sulit diharapkan memberikan dampak berarti bagi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan pendapatan.